Subscribe:

Selasa, 06 November 2012

gender dan pembangunan CEDAW



GENDER DAN PEMBANGUNAN
CEDAW (CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMANATION AGAINST WOMEN)


Penandatanganan CEDAW pada tahun 1979 dan pemberlakuannya pada tahun 1981 hanya merupakan gagasan tentang pengakuan persamaan bagi perempuan. Diperlukan satu dasawarsa lagi bagi diterimanya dan deklarasi hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia oleh negara. Baru pada tahun 1993 hak asasi perempuan diterima sebagai "bagian yang tidak dapat dicabut/dibatalkan (inalienable), integral dan tidak dapat dipisahkan (indivisible) dari hak asasi manusia universal" yang "harus merupakan bagian integral kegiatan hak asasi manusia Perserikatan Bangsa Bangsa. 
Setiap tahap perkembangan merupakan kemenangan perempuan yang dicapai dengan susah payah: apakah itu diadopsinya CEDAW di tingkat global ataukah tantangan-tantangan implementasi domestik seperti ratifikasi oleh Negara Pihak, kerjasama dengan Negara Pihak dalam memenuhi kewajibannya, atau dipantau pelaksanaannya, sehingga dapat dilakukan telaah yang efektif oleh Komite CEDAW. Disamping berbagai tantangan dalam implementasi CEDAW, tujuan penghapusan diskriminasi gender menghendaki perluasan
Konvensi untuk dapat menjawab kondisi dan tantangan yang muncul – untuk memastikan bahwa Konvensi dapat secara dinamis memberikan respon pada berbagai realitas kehidupan perempuan. CEDAW berpotensi menjawab batasan-batasan baru dari diskriminasi gender. Dengan demikian, perjuangan di masa mendatang harus ditujukan untuk menggabungkan implementasi standar-standar yang ada dengan situasi-situasi yang dicakup CEDAW, sekaligus memperluas perspektif non-diskriminasi ke dalam konteks, permasalahan, dan isu-isu yang kontemporer. Mengkaitkan CEDAW dengan hak-hak seksualitas, konflik internal, pengungsi dalam negeri (internally displaced persons) merupakan beberapa masalah yang memerlukan perhatian khusus.
Dalam hal ini, CEDAW tidak hanya merupakan kulminasi gerakan menuju persamaan bagi perempuan, tetapi juga merupakan awal dari suatu proses penerapan kerangka persamaan, pelibatan dan penjalinan solidaritas untuk menghadapi berbagai keprihatinan yang saling berkait yang merugikan perempuan.

CEDAW bertujuan merubah norma hukum, pola sosial dan praktek-praktek budaya yang diskriminatif terhadap perempuan. Kebebasan budaya dan agama dijamin dalam traktat pokok hak asasi manusia, ICCPR dan ICESCR. CEDAW selangkah lebih maju dalam memberikan pandangan yang lebih kompleks tentang budaya. CEDAW bermaksud memecahkan permasalahan yang terkait dengan budaya dan kesetaraan bagi perempuan, tertutama melalui, walaupun tidak terbatas

            Wilayah diskriminasi menurut ketentuan CEDAW tidak terbatas hanya pada ranah publik (yang terkait langsung dengan negara dan aparat negara). Diskriminasi mencakup tindakan dalam bidang-bidang "politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya."23 Diskriminasi mencakup tindakan yang dilakukan oleh pelaku privat mulai dari individu sampai korporasi bisnis, keluarga dan masyarakat. Diskriminasi mencakup hukum tertulis, asumsi sosio-budaya tentang perempuan dan norma-norma yang diperlakukan terhadap perempuan.

Keterkaitan antara Ideologi, Struktur dan Tindakan Individu.  CEDAW memahami bahwa setiap individu hidup dalam struktur tertentu dan bahwa tindakan mereka dipengaruhi oleh ideologi yang ada. Pasal 5 Konvensi dengan jelas mendorong adanya "perubahan pola sosial dan budaya yang didasarkan pada inferioritas dan superioritas salah satu jenis kelamin atau pada peran stereotip laki-laki dan perempuan." Pemahaman peran nilai-nilai ideologi dan sosial yang mengkondisikan tindakan individu merupakan kontribusi penting CEDAW, dan merupakan keunikan traktat ini dibandingkan dengan berbagai instrumen hak asasi manusia lainnya.

Dengan menganggap perlu adanya perubahan ideologi dan struktur yang mempengaruhi dan melanggengkan subordinasi perempuan, CEDAW menyimpulkan bahwa ideologi dan struktur, digabungkan dengan tindakan individu, merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Karenanya, ketiga unsur pokok ini perlu disorot secara simultan dalam usaha penghapusan subordinasi perempuan. Sebagai contoh, perempuan bersama laki-laki memiliki "hak yang sama untuk secara bebas dan bertanggungjawab memutuskan jumlah dan jarak kelahiran anak-anak mereka." Namun, pengalaman perempuan di "berbagai negara mulai dari Mexico, Afrika Selatan dan Bangladesh menunjukan bahwa persetujuan pasangannya merupakan satu-satunya penentu utama pemakaian kontrasepsi perempuan." Ideologi dan struktur patriarkal telah mengkondisikan perempuan ke dalam subordinasi dan memberikan keistimewaan kepada laki-laki.
Telah dibuat Undang Undang tentang CEDAW yaitu UU No 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimanation Against Women), dengan alasan salah satunya adalah bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam sidangnya pada tanggal 18 Desember 1979, telah menyetujui Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women). Memutuskan :
Pasal 1
Mengesahkan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang telah disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Desember 1979, dengan pensyaratan (reservation) terhadap Pasal 29 ayat (1) tentang penyelesaian perselisihan mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini, yang salinannya dilampirkan pada Undang-undang ini.
Pasal 2
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Independen organsiasi non pemerintah di Indonesia memasukkan masalah buruh perempuan untuk menjadi rekomendasi yang diajukan kepada Komite CEDAW, atau Komite Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, di New York.  Masalah buruh migran ini menurut CEDAW Working Group Initiative Indonesia ini penting dimasukkan dalam 10 isu kritis laporan, karena peran penting perempuan di sektor ekonomi ditunjukkan dengan semakin meningkatnya angkatan kerja perempuan, yaitu mencapai 46,23% (Departemen Tenaga kerja, tahun 2004).
Perempuan umumnya bergerak di sektor primer (46,01%) dan tertier (39,62%), namun status pekerjaan terbanyak sebagai buruh sektor informal (54,82%), termasuk menjadi pedagang kecil-kecilan, pekerja rumah tangga, bahkan cukup banyak sebagai pekerja keluarga tanpa upah. Kondisi buruh perempuan di sektor formal tidak selalu lebih baik dari perempuan yang berkecimpung di sektor informal. Berikut adalah gambaran kondisi buruh perempuan baik di sektor formal maupun informal. Buruh yang bekerja di sektor industri (sektor formal) Meskipun sejumlah hak-hak perempuan telah dilindungi melalui UU No. 13/Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagian besar perusahaan hampir tidak memperhatikan masalah-masalah yang spesifik yang dialami buruh perempuan formal, seperti masalah cuti haid, cuti melahirkan, tunjangan untuk kehamilan dan menyusui, dan fasilitas tempat penitipan anak.
Perusahaan tidak memberikan hak-hak tersebut di atas karena dianggap menganggu produktivitas kerja perusahaan dan menyebabkan biaya produksi besar. Upah perempuan lebih rendah dari laki-laki karena buruh perempuan selalu dianggap berstatus lajang. Buruh perempuan tidak mendapat tunjangan keluarga, serta jaminan sosial untuk suami dan anak.
Perempuan sangat sulit memperoleh promosi jabatan karena selalu ditempatkan di posisi yang lebih rendah dari laki-laki, yang tidak mensyaratkan pendidikan dan ketrampilan yang tinggi. Perempuan ditempatkan pada pekerjaan yang hanya membutuhkan ketekunan, ketelitian, dan kerapihan, dan biasanya hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan setiap hari selama bertahun-tahun. Para buruh perempuan yang sudah berusia 40 (empat puluh) tahun dianggap sudah tidak produktif oleh perusahaan. Perusahaan lebih banyak merekrut tenaga kerja perempuan yang usianya masih muda dan baru lulus sekolah. Banyak kasus pelecehan seksual di tempat kerja yang dilakukan oleh teman kerja ataupun atasannya.
Buruh migran (sektor formal dan informal)
Perlindungan dan penanganan kasus-kasus buruh migran perempuan Indonesia mulai dari pra pemberangkatan, masa kerja, dan pasca pemulangan, belum serius dilakukan oleh instansi pemerintah dan swasta yang terkait (Departemen Tenaga kerja, Agen Penyalur Tenaga Kerja Indonesia, Kedutaan Besar RI). Buruh migran yang hampir 80% adalah perempuan, mengalami penyiksaan, perkosaan dan pelecehan seksual, deportasi, menjadi korban perdagangan perempuan, upah tidak dibayar, dan jam kerja yang panjang. Sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak banyak membantu untuk memberikan perlindungan, bahkan berpotensi menimbulkan persoalan diskriminasi. UU No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri (UU PPTKILN) hanya mengatur mekanisme penempatan buruh migran. UU tersebut tidak menjangkau wilayah perlindungan buruh migran. Begitupula UU Kewarganegaraan Nomor 12/tahun 2006, ketentuan wajib lapor bagi buruh migran yang bekerja 5 tahun di luar negeri tidak mempertimbang-kan kondisi buruh migran yang tidak diperbolehkan keluar dari rumah majikan sehingga akibatnya buruh migran sulit untuk melapor dan terancam kehilangan kewarganegaraan.




Pekerja rumah tangga (sektor informal)


Belum ada UU yang melindungi sektor Pekerja Rumah Tangga. UU Nomor. 13/Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mencakup perlindungan dan aturan hubungan ketenagakerjaan pekerja rumah tangga. Hal ini disebabkan karena pekerja Rumah Tangga belum diakui sebagai pekerja, melainkan sebagai “Pembantu”. Akibatnya pekerja rumah tangga tidak mempunyai aturan pekerjaan yang jelas, perlindungan hukum dan jaminan sosial, termasuk jaminan kesehatan reproduksinya.
Pekerja Rumah Tangga di Indonesia yang mayoritas perempuan, banyak mengalami permasalahan, antara lain upah rendah, fasilitas kerja tidak memadai, tidak ada jaminan sosial, tidak ada jaminan kesehatan (kesehatan reproduksi) dan jaminan keselamatan kerja, rentan terhadap kekerasan (fisik, psikis, seksual, ekonomi, sosial), terbatasnya akses informasi, komunikasi, sosialisasi dan berorganisasi dan umumnya tidak ada hari libur dan cuti. Inilah persoalan buruh perempuan di Indonesia yang keberadaannya diabaikan oleh negara
sendiri. Tidak hanya itu, selain perempuan, anak-anakpun menjadi sasaran pengabaian yang sama. Perempuan dan anak-anak dianggap tenaga yang murah dibayar.
Dikutip dari: Ringkasan Laporan Independen organisasi Non Pemerintah Indonesia tentang Implementasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Konvensi CEDAW di Indonesia), Cedaw Working Group Initiative, 2007 dan buku Bagaimana Melakukan Penelitian Berbasis Aksi dengan Pekerja Anak dan Anak yang Dilacurkan, Regional Working Group on Child Labour, UNICEF, 2006.

Di tataran internasional, Pemerintah Indonesia telah menandatangani beberapa kesepakatan, hal ini merupakan dasar bagi perluasan komitmen pemerintah untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender. Beberapa kesepakatan tersebut diantaranya adalah Convention on the Political Rights of Women (1952), Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) pada tahun 1979, International Conference on Population and Development (ICPD) di tahun 1994, Beijing Declaration and Platform for Action (BPFA) pada 1995 dan Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2000.
 Dalam pertemuan United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP ) di Bangkok, pada 7 sampai dengan 10 September 2004 yang dihadiri oleh 48 negara anggotanya, diperoleh gambaran bahwa terdapat kemajuan dalam pelaksanaan BPFA yang dicapai negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Hal tersebut meliputi perbaikan atas 12 masalah yang dihadapi oleh perempuan dan anak-anak di berbagai kawasan, yaitu:
(1)          perempuan dan kemiskinan,
(2)          pendidikan dan pelatihan bagi perempuan,
(3)          perempuan dan kesehatan,
(4)          kekerasan terhadap perempuan,
(5)          perempuan dan konflik bersenjata,
(6)          perempuan dan ekonomi,
(7)         perempuan dalam kedudukan pemegang kekuasaan dan pengambilan keputusan,
(8)          mekanisme-mekanisme institusional untuk kemajuan perempuan,
(9)          hak-hak asasi perempuan
(10)       perempuan dan media,
(11)       perempuan dan lingkungan,
(12)       anak-anak perempuan.


Sumber : berbagai sumber di website dan blog.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...