GENDER DAN PEMBANGUNAN
CEDAW (CONVENTION ON
THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMANATION AGAINST WOMEN)
Penandatanganan CEDAW pada tahun 1979 dan
pemberlakuannya pada tahun 1981 hanya merupakan gagasan tentang pengakuan
persamaan bagi perempuan. Diperlukan satu dasawarsa
lagi bagi diterimanya dan deklarasi hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia oleh negara. Baru pada tahun 1993 hak
asasi perempuan diterima sebagai "bagian yang
tidak dapat dicabut/dibatalkan (inalienable), integral dan tidak dapat dipisahkan (indivisible) dari hak asasi
manusia universal" yang "harus merupakan bagian integral kegiatan hak asasi manusia
Perserikatan Bangsa Bangsa.
Setiap tahap perkembangan
merupakan kemenangan perempuan yang dicapai dengan susah payah: apakah itu
diadopsinya CEDAW di tingkat global ataukah tantangan-tantangan implementasi
domestik seperti ratifikasi oleh Negara Pihak, kerjasama dengan Negara Pihak
dalam memenuhi kewajibannya, atau dipantau pelaksanaannya, sehingga dapat
dilakukan telaah yang efektif oleh Komite CEDAW. Disamping
berbagai tantangan dalam implementasi CEDAW, tujuan penghapusan diskriminasi gender menghendaki perluasan
Konvensi untuk dapat menjawab kondisi dan tantangan yang muncul – untuk memastikan
bahwa Konvensi dapat secara dinamis memberikan respon
pada berbagai realitas kehidupan perempuan. CEDAW berpotensi menjawab batasan-batasan baru dari
diskriminasi gender. Dengan demikian, perjuangan di masa mendatang
harus ditujukan untuk menggabungkan implementasi standar-standar yang ada dengan situasi-situasi yang dicakup
CEDAW, sekaligus memperluas perspektif non-diskriminasi
ke dalam konteks, permasalahan, dan isu-isu yang kontemporer. Mengkaitkan CEDAW dengan hak-hak seksualitas,
konflik internal, pengungsi dalam negeri (internally
displaced persons) merupakan beberapa masalah yang memerlukan perhatian khusus.
Dalam hal ini, CEDAW
tidak hanya merupakan kulminasi gerakan menuju persamaan bagi perempuan, tetapi
juga merupakan awal dari suatu proses penerapan kerangka persamaan, pelibatan
dan penjalinan solidaritas untuk menghadapi berbagai keprihatinan yang saling
berkait yang merugikan perempuan.
CEDAW bertujuan merubah norma hukum, pola
sosial dan praktek-praktek budaya yang diskriminatif
terhadap perempuan. Kebebasan budaya dan agama dijamin dalam traktat pokok hak asasi manusia, ICCPR dan ICESCR.
CEDAW selangkah lebih maju dalam memberikan
pandangan yang lebih kompleks tentang budaya. CEDAW bermaksud memecahkan permasalahan yang terkait dengan budaya
dan kesetaraan bagi perempuan, tertutama melalui, walaupun tidak
terbatas
Wilayah diskriminasi menurut ketentuan CEDAW
tidak terbatas hanya pada ranah publik (yang terkait langsung dengan
negara dan aparat negara). Diskriminasi mencakup tindakan dalam bidang-bidang "politik, ekonomi,
sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya."23
Diskriminasi mencakup tindakan yang dilakukan oleh pelaku privat mulai dari individu sampai korporasi bisnis,
keluarga dan masyarakat. Diskriminasi mencakup hukum tertulis, asumsi
sosio-budaya tentang perempuan dan norma-norma yang diperlakukan terhadap perempuan.
Keterkaitan antara Ideologi, Struktur dan
Tindakan Individu. CEDAW memahami bahwa setiap individu hidup dalam
struktur tertentu dan bahwa tindakan mereka dipengaruhi oleh
ideologi yang ada. Pasal 5 Konvensi dengan jelas mendorong adanya
"perubahan pola sosial dan budaya yang didasarkan pada inferioritas dan
superioritas salah satu jenis kelamin atau pada peran stereotip laki-laki dan perempuan." Pemahaman peran
nilai-nilai ideologi dan sosial yang mengkondisikan tindakan individu merupakan kontribusi penting
CEDAW, dan merupakan keunikan traktat ini dibandingkan dengan
berbagai instrumen hak asasi manusia lainnya.
Dengan menganggap perlu
adanya perubahan ideologi dan struktur yang mempengaruhi dan melanggengkan
subordinasi perempuan, CEDAW menyimpulkan bahwa ideologi dan struktur,
digabungkan dengan tindakan individu, merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan. Karenanya, ketiga unsur pokok ini perlu disorot secara
simultan dalam usaha penghapusan subordinasi perempuan.
Sebagai contoh, perempuan bersama laki-laki memiliki "hak yang sama untuk secara
bebas dan bertanggungjawab memutuskan jumlah dan jarak kelahiran anak-anak mereka."
Namun, pengalaman perempuan di "berbagai negara mulai dari
Mexico, Afrika Selatan dan Bangladesh menunjukan bahwa persetujuan pasangannya merupakan satu-satunya
penentu utama pemakaian kontrasepsi perempuan." Ideologi dan struktur patriarkal telah mengkondisikan perempuan ke dalam
subordinasi dan memberikan keistimewaan kepada laki-laki.
Telah dibuat Undang
Undang tentang CEDAW yaitu UU No 7 tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap
Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimanation Against
Women), dengan alasan salah satunya adalah bahwa Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam sidangnya pada tanggal 18 Desember 1979,
telah menyetujui Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
Against Women). Memutuskan :
Pasal 1
Mengesahkan
Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita
(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women)
yang telah disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal
18 Desember 1979, dengan pensyaratan (reservation) terhadap Pasal 29 ayat (1)
tentang penyelesaian perselisihan mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi
ini, yang salinannya dilampirkan pada Undang-undang ini.
Pasal 2
Undang-undang ini
mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Independen organsiasi non pemerintah di
Indonesia memasukkan masalah buruh perempuan untuk menjadi rekomendasi yang
diajukan kepada Komite CEDAW, atau Komite Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan, di New York. Masalah buruh migran ini menurut CEDAW Working Group Initiative
Indonesia ini penting dimasukkan dalam 10 isu kritis laporan, karena peran
penting perempuan di sektor ekonomi ditunjukkan dengan semakin meningkatnya
angkatan kerja perempuan, yaitu mencapai 46,23% (Departemen Tenaga kerja, tahun
2004).
Perempuan umumnya bergerak di sektor primer
(46,01%) dan tertier (39,62%), namun status pekerjaan terbanyak sebagai buruh
sektor informal (54,82%), termasuk menjadi pedagang kecil-kecilan, pekerja
rumah tangga, bahkan cukup banyak sebagai pekerja keluarga tanpa upah. Kondisi buruh perempuan di sektor formal tidak selalu lebih baik
dari perempuan yang berkecimpung di sektor informal. Berikut adalah gambaran kondisi
buruh perempuan baik di sektor formal maupun informal. Buruh yang bekerja di sektor industri
(sektor formal) Meskipun sejumlah hak-hak perempuan telah dilindungi melalui UU No. 13/Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, sebagian besar perusahaan hampir tidak memperhatikan
masalah-masalah yang spesifik yang dialami buruh perempuan formal, seperti
masalah cuti haid, cuti melahirkan, tunjangan untuk kehamilan dan menyusui, dan
fasilitas tempat penitipan anak.
Perusahaan tidak memberikan hak-hak tersebut di atas karena
dianggap menganggu produktivitas kerja perusahaan dan menyebabkan biaya produksi besar. Upah perempuan lebih rendah dari
laki-laki karena buruh perempuan selalu dianggap berstatus lajang. Buruh
perempuan tidak mendapat tunjangan keluarga, serta jaminan sosial untuk suami
dan anak.
Perempuan sangat sulit memperoleh promosi jabatan karena selalu
ditempatkan di posisi yang lebih rendah dari laki-laki, yang tidak mensyaratkan
pendidikan dan ketrampilan yang tinggi. Perempuan ditempatkan pada pekerjaan
yang hanya membutuhkan ketekunan, ketelitian, dan kerapihan, dan biasanya hanya
mengerjakan satu jenis pekerjaan setiap hari selama bertahun-tahun. Para buruh
perempuan yang sudah berusia 40 (empat puluh) tahun dianggap sudah tidak
produktif oleh perusahaan. Perusahaan lebih banyak merekrut tenaga kerja
perempuan yang usianya masih muda dan baru lulus sekolah. Banyak kasus pelecehan seksual di
tempat kerja yang dilakukan oleh teman kerja ataupun atasannya.
Buruh
migran (sektor formal dan informal)
Perlindungan dan penanganan kasus-kasus buruh migran perempuan Indonesia
mulai dari pra pemberangkatan, masa kerja, dan pasca pemulangan, belum serius
dilakukan oleh instansi pemerintah dan swasta yang terkait (Departemen Tenaga
kerja, Agen Penyalur Tenaga Kerja Indonesia, Kedutaan Besar RI). Buruh migran
yang hampir 80% adalah perempuan, mengalami penyiksaan, perkosaan dan pelecehan
seksual, deportasi, menjadi korban perdagangan perempuan, upah tidak dibayar,
dan jam kerja yang panjang. Sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak banyak membantu untuk memberikan
perlindungan, bahkan berpotensi menimbulkan persoalan diskriminasi. UU No. 39
Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar
Negeri (UU PPTKILN) hanya mengatur mekanisme penempatan buruh migran. UU tersebut tidak menjangkau
wilayah perlindungan buruh migran. Begitupula UU Kewarganegaraan Nomor 12/tahun
2006, ketentuan wajib lapor bagi buruh migran yang bekerja 5 tahun di luar
negeri tidak mempertimbang-kan kondisi buruh migran yang tidak diperbolehkan keluar
dari rumah majikan sehingga akibatnya buruh migran sulit untuk melapor dan
terancam kehilangan kewarganegaraan.
Pekerja rumah tangga (sektor informal)
Belum ada UU yang melindungi sektor Pekerja Rumah Tangga. UU
Nomor. 13/Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mencakup perlindungan dan
aturan hubungan ketenagakerjaan pekerja rumah tangga. Hal ini disebabkan karena
pekerja Rumah Tangga belum diakui sebagai pekerja, melainkan sebagai
“Pembantu”. Akibatnya pekerja rumah tangga tidak mempunyai aturan pekerjaan yang
jelas, perlindungan hukum dan jaminan sosial, termasuk jaminan kesehatan
reproduksinya.
Pekerja Rumah Tangga di Indonesia yang
mayoritas perempuan, banyak mengalami permasalahan, antara lain upah rendah,
fasilitas kerja tidak memadai, tidak ada jaminan sosial, tidak ada jaminan
kesehatan (kesehatan reproduksi) dan jaminan keselamatan kerja, rentan terhadap
kekerasan (fisik, psikis, seksual, ekonomi, sosial), terbatasnya akses
informasi, komunikasi, sosialisasi dan berorganisasi dan umumnya tidak ada hari
libur dan cuti. Inilah persoalan buruh perempuan di
Indonesia yang keberadaannya diabaikan oleh negara
sendiri. Tidak hanya itu, selain perempuan, anak-anakpun menjadi sasaran pengabaian yang sama. Perempuan dan anak-anak dianggap tenaga yang murah dibayar.
sendiri. Tidak hanya itu, selain perempuan, anak-anakpun menjadi sasaran pengabaian yang sama. Perempuan dan anak-anak dianggap tenaga yang murah dibayar.
Dikutip
dari: Ringkasan Laporan Independen organisasi Non Pemerintah Indonesia tentang
Implementasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
(Konvensi CEDAW di Indonesia), Cedaw Working Group Initiative, 2007 dan buku
Bagaimana Melakukan Penelitian Berbasis Aksi dengan Pekerja Anak dan Anak yang
Dilacurkan, Regional Working Group on Child Labour, UNICEF, 2006.
Di tataran internasional, Pemerintah Indonesia
telah menandatangani beberapa kesepakatan, hal ini merupakan dasar bagi
perluasan komitmen pemerintah untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan
gender. Beberapa kesepakatan tersebut diantaranya adalah Convention on the
Political Rights of Women (1952), Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women (CEDAW) pada tahun 1979, International Conference
on Population and Development (ICPD) di tahun 1994, Beijing Declaration and
Platform for Action (BPFA) pada 1995 dan Millenium Development Goals (MDGs)
pada tahun 2000.
Dalam
pertemuan United Nations Economic and Social Commission for Asia and the
Pacific (UNESCAP ) di Bangkok, pada 7 sampai dengan 10 September 2004 yang
dihadiri oleh 48 negara anggotanya, diperoleh gambaran bahwa terdapat kemajuan
dalam pelaksanaan BPFA yang dicapai negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Hal
tersebut meliputi perbaikan atas 12 masalah yang dihadapi oleh perempuan dan
anak-anak di berbagai kawasan, yaitu:
(1)
perempuan dan
kemiskinan,
(2)
pendidikan dan
pelatihan bagi perempuan,
(3)
perempuan dan
kesehatan,
(4)
kekerasan
terhadap perempuan,
(5)
perempuan dan
konflik bersenjata,
(6)
perempuan dan
ekonomi,
(7)
perempuan dalam
kedudukan pemegang kekuasaan dan pengambilan keputusan,
(8)
mekanisme-mekanisme
institusional untuk kemajuan perempuan,
(9)
hak-hak asasi perempuan
(10)
perempuan dan
media,
(11)
perempuan dan
lingkungan,
(12)
anak-anak
perempuan.
Sumber
: berbagai sumber di website dan blog.
0 komentar:
Posting Komentar